kolom

Nikel dan Sustainability Paradox: Elektromobilitas Harus Mengorbankan Alam?

Nikel dan Sustainability Paradox: Elektromobilitas Harus Mengorbankan Alam?
Ilustrasi suasana aktivitas di lokasi penambangan.(freepik.com)

Yoursay.id - Beberapa tahun terakhir, dunia sedang giat-giatnya “beralih ke hijau”. Mobil listrik dijual dengan embel-embel ramah lingkungan, kota-kota sibuk menarget nol emisi karbon, dan kita didorong merasa keren kalau naik kendaraan tanpa knalpot. Tapi, di balik semangat itu, ada kisah yang tak banyak dibicarakan. Untuk membuat satu baterai mobil listrik, dibutuhkan nikel yang banyak sekali. Dan tahukah kamu, sebagian besar nikel itu ditambang di negeri kita sendiri, Indonesia. Tepatnya di tempat-tempat yang justru selama ini kita banggakan karena keindahan alamnya.

Salah satu kisah paling ironis datang dari Raja Ampat, Papua Barat. Ya, surga bawah laut yang selama ini jadi primadona wisata selam dunia. Lautannya yang sebening kaca dan gugusan karangnya yang magis kini tengah terancam, bukan oleh plastik atau penangkapan ikan ilegal. Tapi oleh ekspansi tambang nikel.

Laut yang Luka demi Baterai “Hijau”

Tambang nikel mulai menjalar masuk ke kawasan Raja Ampat, khususnya di Pulau Kawe yang masih masuk area Raja Ampat bagian utara. Berdasarkan laporan dari Auriga Nusantara dan AP News (2024), perusahaan bernama PT Gag Nikel yang merupakan anak usaha Harita Group pernah mendapatkan izin tambang di pulau ini, sebelum kemudian izinnya dicabut setelah protes dari masyarakat adat dan organisasi lingkungan. Tapi luka itu terlanjur terasa.

Salah satu yang terancam adalah Eagle Rock, stasiun pembersihan alami bagi pari manta. Di sini, pari-pari laut raksasa datang untuk “mencuci tubuhnya” dari parasit dengan bantuan ikan-ikan kecil. Bukan sekadar tempat mampir, lokasi ini adalah bagian penting dari siklus hidup mereka. Namun, sedimentasi dari kegiatan tambang bisa mengaburkan air laut, menyelimuti karang dengan lumpur, dan mengganggu ekosistem halus itu.

Ini bukan cerita fiksi. Studi dari Royal Society Open Science (2023) menyebutkan bahwa pari manta di Raja Ampat termasuk kelompok residen, artinya mereka tidak bermigrasi jauh. Sekali habitatnya rusak, mereka tidak punya pilihan lain. Begitu juga dengan penyu, yang hanya mau bertelur di tempat asalnya. Jika garis pantai itu rusak oleh infrastruktur tambang atau pencemaran, kita tak hanya kehilangan satu musim peneluran, tapi mungkin satu generasi penyu.

Ketika Energi Bersih Justru Meninggalkan Luka

Kita memang sedang butuh transisi energi. Dunia tak bisa terus-terusan bergantung pada bahan bakar fosil. Tapi ironisnya, untuk menyelamatkan planet, kita menambang logam yang justru bisa merusak bagian dari planet itu sendiri.

Indonesia saat ini adalah produsen nikel terbesar dunia. Pemerintah kita bahkan mendorong hilirisasi dengan membangun pabrik smelter dan industri baterai kendaraan listrik. Kedengarannya hebat. Tapi mari kita tilik lebih dalam, berapa banyak dari ekspansi itu yang dilakukan di kawasan sensitif secara ekologis? Berapa banyak yang melibatkan masyarakat lokal secara bermakna?

Di banyak wilayah seperti Halmahera, Obi, hingga Papua Barat, tambang-tambang nikel membuka jalan melalui hutan hujan, mencemari sungai, dan memaksa masyarakat adat untuk memilih antara tanah leluhur dan janji pembangunan. Data dari JATAM (2023) menunjukkan bahwa sebagian besar izin tambang nikel berada di kawasan rawan bencana atau ekosistem laut yang rapuh.

Ini semacam paradoks. Kita ingin masa depan yang berkelanjutan, tapi malah mengandalkan ekonomi ekstraktif. Mobil listriknya memang tidak mengeluarkan emisi di kota, tapi jejak karbon (dan jejak kerusakan ekologis) bisa jadi tertinggal jauh di Timur Indonesia.

Menuju Transisi Energi yang Tidak Membabi Buta

Lalu, apa solusinya? Apakah kita harus menghentikan seluruh tambang nikel? Tidak semudah itu. Tapi kita harus lebih selektif dan transparan.

Pertama, kawasan seperti Raja Ampat semestinya dikecualikan total dari eksploitasi tambang. Selain statusnya sebagai kawasan konservasi, tempat ini adalah warisan biodiversitas dunia. Bayangkan kehilangan salah satu titik menyelam terbaik dunia hanya demi menambang logam untuk mobil yang katanya menyelamatkan dunia?

Kedua, konsumen dan produsen kendaraan listrik di negara maju harus tahu dari mana nikel mereka berasal. Rantai pasok harus dibuka, tidak boleh ada greenwashing. Jika Tesla atau BYD memakai nikel dari kawasan yang menghancurkan komunitas lokal atau ekosistem laut, maka itu bukan mobil hijau, itu mobil yang mengecat merah luka orang lain dengan cat hijau.

Ketiga, masyarakat lokal harus duduk sebagai pengambil keputusan, bukan hanya penonton. Mereka tahu betul bagaimana menjaga laut jauh sebelum tambang datang dengan janjinya.

Di satu sisi kita bicara soal inovasi, revolusi energi, dan masa depan bersih. Tapi di sisi lain, kita menyaksikan lumpur tambang menyelimuti karang, mengusir pari manta, dan mengancam penghidupan nelayan. Transisi energi tidak boleh menjadi kedok baru kolonialisme ekonomi atau bentuk baru kerusakan.

Raja Ampat terlalu indah untuk sekadar jadi “biaya eksternal” dari mobil canggih. Laut kita bukan kantong sampah dari ambisi dunia. Kalau memang ingin dunia yang hijau, mari pastikan biru kita tetap terjaga.

Ridho Hardisk

Ridho Hardisk

hanya seorang mahasiswa yang kecanduan menulis

Total Artikel 282

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Dapatkan informasi terkini dan terbaru yang dikirimkan langsung ke Inbox anda