kolom

Raja Ampat di Simpang Jalan: Kilau Nikel atau Pesona Alam?

Raja Ampat di Simpang Jalan: Kilau Nikel atau Pesona Alam?
Karikatur eksploitasi Kepulauan Raja Empat, Papua Barat untuk tambang nikel. [FakartunXSuara.com]

Yoursay.id - raja ampat selama ini dipandang sebagai mahakarya alam: terumbu karang berwarna, manta ray menari, dan hutan hujan tropis tak terjamah. Namun kini, cahaya gemerlap nikel turut menyilaukan—menggoda bukan hanya investor global, tapi juga mengambil alih mimpi alam raja ampat.

Tagar #SaveRajaAmpat mencuat bukan sekadar ajakan menjaga laut, tapi peringatan untuk menahan kerikil nikel yang bisa menggempur pesona alamnya. Kegiatan tambang—sekali diklaim “ramah lingkungan”—nyatanya menagkap satu hal sederhana: tambang = hilangkan ruang hidup. Semua yang berada di atasnya akan tergilas, termasuk pepohonan, hewan, dan peran penting alam dalam menyimpan kesadaran kita.

Sayangnya, program “stop tambang” tidak semudah itu. Karena ekosistem raja ampat bukan hanya soal alam, tapi juga soal masyarakat yang menggantungkan hidup pada tambang dan pertanian. Intinya: raja ampat kini berdiri di persimpangan ekonomi dan ekologi, menjulang dilematis antara keuntungan sementara dan kerusakan jangka panjang.

Pendapatan vs Kehancuran – Dilema Ekonomi Pulau Kecil

Aktivitas nikel">tambang nikel di Pulau Gag ibarat gula manis yang menggoda di tengah kopi pahit kehidupan ekonomi masyarakat. Dengan 200 warga dari sekitar 700–900 jiwa diserap sebagai tenaga kerja, ditambah bantuan pupuk dan bibit, rasanya seperti dapat THR sepanjang tahun. Tak hanya itu, para petani dan nelayan pun ikut menikmati limpahan rezeki: hasil panen dibeli, tangkapan ikan diserap. Semua terlihat nyata, bukan sekadar angan-angan seperti janji kampanye musiman. Dalam kacamata ekonomi lokal, tambang seperti pahlawan bertopeng nikel—datang menyelamatkan desa dari keterpencilan.

Namun, jika kita buka topengnya, seperti kata Lo et al. (2024), dampak jangka panjang dari tambang justru menyamar sebagai kebaikan sementara. Peningkatan infrastruktur dan layanan dasar memang terjadi di awal—seperti jalan baru yang dibuka, atau klinik yang mendadak bercat segar. Tapi, di balik semua itu, deforestasi mengintai diam-diam, hampir dua kali lipat dari sebelumnya. Hutan yang dulu jadi perisai alam malah dibabat habis demi menggali logam. Akibatnya, lingkungan yang menopang kehidupan bisa runtuh, pelan tapi pasti. Hari ini warga mungkin panen, tapi besok siapa tahu cuma bisa mengenang sawah lewat foto kenangan.

Kesejahteraan semu ini mirip seperti makan mi instan: cepat kenyang tapi menyisakan pertanyaan soal kesehatan jangka panjang. Apalagi, pulau kecil seperti Gag punya daya dukung yang terbatas. Sekali rusak, proses pemulihan bisa berlangsung puluhan tahun, jika bisa pulih sama sekali. Bila tanah tercemar logam berat, pupuk sehebat apa pun tak akan menyuburkan ladang mati. Bila laut mengandung sedimentasi dan nikel, ikan pun tak betah. Maka, pendapatan yang diperoleh hari ini justru bisa menyiapkan kehancuran ekonomi yang lebih dalam di masa depan.

Dilema ini bukan soal menolak tambang mentah-mentah, melainkan tentang pertanyaan: apakah pertumbuhan ekonomi yang merusak fondasi hidup bisa disebut kemajuan? Jika jawabannya “iya”, maka kita telah menukar masa depan demi keuntungan sesaat. Tapi jika jawabannya “tidak”, maka saatnya menata ulang model pembangunan kita—bukan sekadar menggelontorkan CSR, tetapi merancang ekonomi alternatif yang menjaga alam dan memberdayakan masyarakat sekaligus. Karena, pada akhirnya, ekonomi tanpa ekologi hanya akan menghasilkan elegi.

Dilarang tapi Tetap Berlanjut: Paradox Hukum di Pulau Kecil

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 35/PUU-XXI/2023 sudah dengan terang menyatakan bahwa aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil dilarang. Bahkan, UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah memberi rambu sejak lama: pulau kecil harus bebas dari eksploitasi yang dapat menimbulkan kerusakan permanen. Dalam hal ini, Pulau Gag yang hanya memiliki luas di bawah 2.000 km² semestinya masuk dalam kategori tersebut. Maka tak heran bila Greenpeace Indonesia dan banyak aktivis lingkungan lainnya langsung bersuara keras ketika nikel">tambang nikel beroperasi di sana. Mereka tidak asal teriak; mereka bersandar pada hukum yang sah dan putusan konstitusional yang kuat.

Ironisnya, meski regulasi sudah tegas, praktiknya justru longgar. Izin tambang seperti punya sembilan nyawa. Setelah PT GAG nikel mendapat izin produksi sejak 2017, aktivitas pertambangan tetap berjalan bahkan saat perhatian publik memuncak. Saking ironisnya, publik menyindirnya seperti “kucing yang tetap melenggang di atap rumah meski dilempari sendal.” Pemerintah pusat sempat mengambil langkah: pada 5 Juni 2025, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menghentikan sementara operasional GAG nikel. Tapi, masyarakat masih menyaksikan kapal tongkang hilir mudik, seolah tambang itu kebal aturan, atau setidaknya, punya daya lenting politik dan ekonomi yang tak kecil.

Masalah utama terletak pada tarik-menarik antara kepatuhan hukum dan hasrat mengejar keuntungan ekonomi. nikel kini dianggap “emas baru” karena dibutuhkan dalam baterai kendaraan listrik (EV). Indonesia yang ingin menjadi pemain utama dalam industri ini tentu tergoda untuk membuka keran tambang sebanyak mungkin. raja ampat, dengan cadangan nikel tersembunyi, jadi rebutan. Maka terjadilah paradoks: hukum melarang, tetapi kebijakan ekonomi mendukung. Negara terperangkap dalam dualitas, seperti orang yang berniat puasa sambil terus mengunyah diam-diam—tahu yang dilakukan salah, tapi sulit menghentikannya karena “terlalu menggiurkan”.

Dalam situasi seperti ini, wibawa hukum sedang diuji. Apakah pemerintah berani menegakkan konstitusi dengan konsisten, atau justru akan terus memberi ruang pada pelanggaran atas nama pertumbuhan ekonomi? Jika hukum hanya jadi aksesoris, maka masyarakat akan skeptis terhadap negara. Dan ketika masyarakat sudah kehilangan kepercayaan pada hukum, maka upaya pelestarian lingkungan akan tumbang lebih cepat dari hutan yang ditebang untuk tambang. Maka, paradoks hukum ini bukan hanya soal Pulau Gag—melainkan juga cermin kusam wajah penegakan hukum kita di hadapan industri ekstraktif.

Dampak Ekologis: Lumpur Logam dan Terumbu yang Terkubur

Saat hutan ditebang dan perut bumi dikorek, alam tak tinggal diam. Limbah sedimen nikel">tambang nikel mengalir ke laut seperti air mata bumi yang murka, membawa serta logam berat yang bukan hanya mencemari air, tetapi juga membungkam kehidupan di bawah permukaan. Menurut laporan Auriga Nusantara, perluasan lahan tambang di Pulau Gag dari 2020 hingga 2024 mencapai 494 hektare. Angka itu bukan sekadar statistik, melainkan catatan luka yang nyata: lumpur tambang menyelimuti karang, menutup jalur cahaya, dan membunuh kehidupan laut secara perlahan. Seolah-olah laut dipaksa memakai penutup mata oleh industri.

Ironisnya, cerita ini bukan hanya milik Papua Barat Daya. Di Sulawesi, skenario serupa terjadi: deforestasi melonjak dua kali lipat, dan habitat laut rusak parah akibat limpasan logam berat. Pola yang sama, dampak yang serupa, dan—sayangnya—reaksi pemerintah yang juga kurang gesit. Seolah-olah Indonesia sedang mengikuti resep rusak yang sama, hanya beda lokasi. Kalau ini film, maka kita sudah tahu akhirnya—sayangnya ini kenyataan, dan kita tak bisa ganti saluran.

Ekosistem raja ampat bukan sekadar latar belakang Instagramable. Ia adalah mesin kehidupan: rumah bagi ratusan spesies, penyangga udara, dan sumber ekonomi dari pariwisata. Jika lumpur tambang terus mengubur terumbu, bukan hanya ikan yang kehilangan rumah—kita semua akan kehilangan peluang. Tidak ada wisatawan yang mau snorkeling di lautan berbau logam. Maka pertanyaannya: apakah kita rela menukar terumbu karang yang bernilai abadi dengan kontrak karya yang usianya hanya seumur rezim? Jika jawabannya tidak, maka hentikan praktik tambang yang membabi buta sebelum laut kita hanya tinggal cerita.

Dampak Sosial dan Kesehatan: Masyarakat di Titik Nol

Di balik gemerlap janji investasi tambang, masyarakat lokal justru berdiri di titik nol—bukan sebagai penentu arah, tapi sebagai penonton dalam drama industri. Warburton (2024) mencatat bahwa manfaat ekonomi dari tambang tak terbagi rata: sebagian kecil warga yang bekerja di perusahaan menikmati pemasukan baru, sementara sisanya—terutama nelayan dan petani—harus menelan getir dampak lingkungan. Ini seperti membagi kue ulang tahun hanya kepada tamu VIP, sementara tuan rumah malah kebagian remah. Konflik sosial pun tak terhindarkan: iri hati, kecemburuan, bahkan saling curiga menggerogoti harmoni komunitas kecil.

Masalahnya bukan hanya soal siapa yang dapat pekerjaan, tapi juga siapa yang kehilangan mata pencaharian. Nelayan mengeluh hasil tangkapan menurun karena air laut makin keruh. Petani mulai khawatir air irigasi yang mereka gunakan terkontaminasi. Lalu muncul pertanyaan: apakah pekerjaan yang ditawarkan tambang sebanding dengan hilangnya sumber nafkah tradisional yang telah turun-temurun? Jika nelayan harus berganti profesi menjadi buruh tambang karena laut tak lagi ramah, maka jelas ini bukan peningkatan kualitas hidup—melainkan pergeseran paksa karena keadaan.

Lebih parah lagi, masalah kesehatan mulai bermunculan. Di tempat-tempat lain seperti Halmahera dan Wawonii, warga mulai mengalami gangguan kulit, batuk berkepanjangan, hingga masalah pernapasan. Air bersih yang semula jadi andalan, kini harus dicek ulang: ini air minum atau cairan logam berat rasa mineral? nikel dan kadmium menyusup dalam aliran air dan tubuh manusia, tanpa suara, tanpa warna, tapi penuh bahaya. Ironis, dalam era yang katanya "sadar kesehatan", masyarakat pinggiran justru harus menebak apakah air galon mereka gratis dari logam.

Yang paling menyedihkan adalah ketika dampak ini dibungkus dalam kemasan manis bertajuk “pro-rakyat.” Katanya tambang hadir untuk meningkatkan kesejahteraan. Tapi kalau sehat jadi taruhan, kalau konflik jadi bonus, dan kalau warga harus memilih antara kerja atau sakit, maka ini bukan keberpihakan—melainkan pembiaran. Di titik ini, masyarakat tidak sedang berkembang; mereka sedang bertahan hidup. Dan saat masyarakat hanya mampu bertahan, negara seharusnya tidak diam.
 
Mencari Jalan Tengah—Keseimbangan atau Kehancuran

Tantangannya jelas: apakah kilau nikel jangka pendek pantas dipertukarkan dengan kerusakan ekosistem jangka panjang? Satu sisi ada kebutuhan ekonomi, di sisi sebaliknya ada keharusan melindungi warisan alam dan kelangsungan masyarakat.

Yang dibutuhkan bukan penolakan total atau izin mutlak, tetapi tata kelola bijak: penegakan hukum tanpa kompromi, praktik tambang berstandar OECE, evaluasi dampak lingkungan kontinu, dan keterlibatan penuh masyarakat sejak awal.

Jika tidak, kilau nikel hanya akan meninggalkan abu ekosistem yang hilang dan konflik masyarakat yang rusak. raja ampat bukan ruang kosong untuk nikel">tambang nikel—ini rumah bagi dunia, bukan ranah untuk dieksploitasi.

Yudi Wili Tama

Yudi Wili Tama

Dosen freelance yang Menulis dengan Tujuan untuk Bersuara

Total Artikel 24

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Dapatkan informasi terkini dan terbaru yang dikirimkan langsung ke Inbox anda