ulasan
Membangun Hubungan Sehat dengan Diri Lewat Buku The Art of Self Talk-ing

Yoursay.id - Sering kali dalam keseharian kita, fokus terbesar justru diberikan kepada orang lain, bagaimana kita bersikap, berkata, dan memenuhi ekspektasi mereka.
Kita sering berusaha memilih kata dengan bijak agar tidak melukai perasaan orang lain, berupaya selalu ada untuk mereka, dan menampilkan sisi terbaik dari diri kita.
Tapi di balik semua usaha itu, kita kerap lupa untuk mendengarkan suara hati sendiri yang pelan-pelan terabaikan.
Buku The Art of Self Talk-ing: Journey to Heal from Within karya Nisrina P. Utami hadir sebagai pengingat lembut, bahwa kita pun layak didengarkan oleh diri kita sendiri.
Lewat buku ini, pembaca diajak untuk menyelami konsep self talk atau berbicara kepada diri sendiri.
Bukan sekadar berbicara dalam hati, tapi benar-benar membuka ruang untuk berdialog dengan diri, mengenali luka yang ada, menerima emosi yang muncul, dan perlahan menyembuhkan bagian-bagian yang mungkin selama ini diabaikan.
Pertanyaan mendasar seperti “Seberapa jauh kamu mengenal dirimu?” menjadi titik tolak pembahasan.
Buku ini bukan sekadar mengajak pembaca untuk berhenti sejenak dan menengok ke dalam diri, tapi juga memberikan pemahaman yang cukup mendalam mengenai konsep self talk.
Mulai dari definisi dasar self talk, cara kerjanya, hingga bagaimana praktik ini bisa mendampingi proses penyembuhan emosi secara bertahap dan penuh kesadaran.
Menariknya, penulis tidak hanya berhenti pada teori, tetapi juga memberikan berbagai latihan praktis, termasuk worksheet yang bisa digunakan sebagai panduan harian.
Salah satu hal yang membuat buku ini menarik adalah gaya penulisannya yang terasa hangat dan bersahabat.
Penulis menyampaikan gagasan serta materinya dengan cara yang ringan dan mudah dicerna, tanpa terkesan mengajari, seolah sedang mengobrol langsung dengan pembaca.
Hal ini membuat pembaca merasa lebih dekat, seolah diajak ngobrol oleh seorang teman yang memahami betul apa yang sedang kita rasakan.
Selain membahas tentang self talk positif, buku ini juga memberi ruang pada self talk negative, yang sering kali dianggap buruk. Padahal, seperti yang dijelaskan dalam buku, self talk negatif pun punya tempat dan peran jika digunakan dengan bijak.
Tidak semua hal perlu ditutupi dengan kalimat manis, karena terlalu memaksakan pikiran positif justru bisa mengarah pada toxic positivity. Yang penting adalah bagaimana kita mengakui perasaan yang ada, memahaminya, dan meresponsnya dengan penuh welas asih.
Di bagian lain, Nisrina juga membahas tentang luka batin dan mekanisme pertahanan diri yang sering muncul saat seseorang menghadapi emosi berat.
Beberapa konsep seperti represi, penyangkalan (denial), pengalihan (displacement), pembentukan reaksi (reaction formation), proyeksi, hingga identifikasi dijelaskan secara ringan namun tetap informatif.
Penjelasan ini penting agar kita bisa lebih memahami mengapa kita merespons situasi tertentu dengan cara tertentu, serta membantu kita lebih jujur dalam mengenali pola-pola emosi yang muncul.
Salah satu hal yang patut diapresiasi dari buku ini adalah kemampuannya merangkum berbagai teori dari beragam referensi, termasuk jurnal-jurnal psikologi, lalu menyajikannya dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh pembaca dari berbagai latar belakang.
Tak hanya itu, buku ini juga mendorong pembacanya untuk mulai menumbuhkan kesadaran penuh (mindfulness) dan membangun pola pikir serta kebiasaan berkomunikasi dengan diri yang lebih sehat dan penuh kasih.
Secara keseluruh, buku ini cocok dibaca oleh siapa pun yang sedang berjuang memahami emosinya, menghadapi luka batin, atau sekadar ingin lebih kenal dan berdamai dengan diri sendiri.
Sebuah karya yang reflektif, hangat, dan penuh ajakan untuk mencintai diri dengan lebih utuh dari dalam.